Archive for February, 2012

Pelita

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata, “Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya. Saya bisa pulang kok.” Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.” Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!” Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!” Si buta tertegun… Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.”

Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.” Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta ini. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah pelita saya padam?” Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.” Senyap sejenak… Secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?” Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya…,” sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.

Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”

Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan).

Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan ‘pulang’, ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.

Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk ‘membuta’ walaupun mereka bisa melihat.

Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.

Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.

Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.

Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita.

Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, takkan pernah habis terbagi.

Malaikat Berseragam

Ini adalah kisah keluarga yang diceritakan ayahku tentang ibunya, yakni nenekku.

Pada tahun 1949, ayahku baru pulang dari perang. Di setiap jalan raya Amerika, terlihat tentara berseragam meminta tumpangan pulang ke keluarganya, seperti kebiasaan di Amerika saat itu.

Sedihnya, kegembiraan reuni bersama keluarganya kemudian dinaungi kegelapan. Nenekku sakit parah dan harus masuk rumah sakit. Ginjalnya sakit, dan para dokter memberitahu ayahku bahwa nenek harus segera ditransfusi darah atau ia tak akan bertahan melewati malam itu. Masalahnya, golongan darah nenek itu AB, golongan yang langka, bahkan juga sekarang, tapi waktu itu lebih sulit lagi diperoleh karena tak ada bank darah maupun pesawat untuk mengirimkannya. Semua anggota keluarga dites, tapi tak satu pun memiliki golongan darah yang cocok. Jadi para dokter tak memberi harapan pada keluarga, nenekku akan meninggal.

Sambil menangis, ayahku meninggalkan rumah sakit untuk menghimpun seluruh anggota keluarga, supaya semuanya bisa mendapat kesempatan untuk berpamitan dengan nenek. Saat ayahku mengendarai mobil di jalan raya, ia melewati seorang tentara berseragam yang minta tumpangan pulang. Dengan duka yang dalam, saat itu ayahku tak beniat beramal. Tapi, seakan ada sesuatu di luar dirinya yang menyuruhnya berhenti, dan ia menunggu orang asing itu naik mobil.

Ayahku terlalu sedih untuk menanyakan nama tentara itu sekalipun, tapi tentara itu langsung melihat air mata ayahku dan menanyakannya. Sambil menangis ayahku bercerita pada orang asing ini bahwa ibunya terbaring sekarat di rumah sakit karena dokter tak dapat menemukan golongan darahnya, AB dan jika sampai malam tiba golongan darah itu belum ada, ibunya tentu akan mati.

Suasana di mobil menjadi hening. Lalu, tentara tak dikenal ini menjulurkan tangannya pada ayahku, telapak menengadah. Pada telapak tangannya terdapat kalung tentara dari lehernya. Golongan darah pada kalung itu adalah AB. Tentara itu menyuruh ayahku membalikkan mobil dan membawanya ke rumah sakit.

Nenekku hidup hingga tahun 1996, empat puluh tujuh tahun kemudian, dan sampai saat ini tak seorang pun keluarga kami yang mengetahui nama tentara itu. Tapi ayahku sering bertanya-tanya, apakah orang itu tentara atau malaikat berseragam?

Kekuatan Berpikir Positif

Suatu ketika seorang pria menelepon Norman Vincent Peale. Ia tampak sedih. Tidak ada lagi yang dimilikinya dalam hidup ini. Norman mengundang pria itu untuk datang ke kantornya.

“Semuanya telah hilang. Tak ada harapan lagi,” kata pria itu. “Aku sekarang hidup dalam kegelapan yang amat dalam. Aku telah kehilangan hidup ini.”

Norman Vincent Peale, penulis buku “The Power of Positive Thinking”, tersenyum penuh simpati. “Mari kita pelajari keadaan anda,” kata Norman dengan lembut.

Pada selembar kertas, ia menggambar sebuah garis lurus dari atas ke bawah tepat di tengah-tengah halaman. Ia menyarankan agar pada kolom kiri pria itu menuliskan apa-apa yang telah hilang dar hidupnya. Sedangkan pada kolom kanan, ia menulis apa-apa yang masih tersisa.

“Aku tak perlu mengisi kolom sebelah kanan,” kata pria itu tetap dalam kesedihan. “Aku sudah tak punya apa-apa lagi.”

“Lalu kapan kau bercerai dari istrimu?” tanya Norman.

“Hei, apa maksudmu? Aku tidak bercerai dari istriku. Ia amat mencintaiku!”

“Kalau begitu bagus sekali,” sahut Norman penuh antusias. “Mari kita catat itu sebagai nomor satu di kolom sebelah kanan “Istri yang amat mencintai”. Nah, sekarang kapan anakmu itu masuk penjara?”

“Anda ini konyol sekali. Tak ada anakku yang masuk penjara!”

“Bagus! Itu nomor dua untuk kolom sebelah kanan “Anak-anak tidak berada dalam penjara”,” kata Norman sambil menuliskannya di atas kertas tadi.

Setelah beberapa pertanyaan dengan nada yang serupa, akhirnya pria itu menangkap apa maksud Norman dan tertawa pada diri sendiri. “Menggelikan sekali. Betapa segala sesuatunya berubah ketika kita berpikir dengan cara seperti itu,” katanya.

Kata orang bijak, bagi hati yang sedih lagu yang riang pun terdengar memilukan. Sedangkan orang bijak lain berkata, sekali pikiran negatif terlintas di pikiran, dunia pun akan terjungkir balik.

Maka mulailah hari dengan selalu berfikir positif!

Tempe Setengah Jadi

Beberapa waktu yang lalu, ada yang bertanya, “Masih adakah mukjizat bagi keadaan saya yang sedemikian ‘menderita’? Saya sudah sabar dan sudah banyak berusaha sejauh ini.”

Jika ada yang bertanya seperti itu kepada anda, secara gamblang sebagai orang beriman pastinya anda akan menjawab dengan hal-hal positif dengan penuh optimistis, “JELAS, masih, percaya dengan iman, dan lain-lain…”

Sounds Familiar? Yup, anggukkan kepala sekali jika anda setuju.

Namun jika anda yang dalam keadaan orang tersebut (si penanya/yang mengalami “penderitaan”), mendapat jawaban seperti itu anda akan berkata dalam hati, “Iya sih saya juga sudah tahu sebenarnya kalau tentang jawaban seperti itu, cuma saya tanya ini karena ungkapan hati yang sudah sangat lelah dan hampir putus harapan, karena seolah tidak ada perkembangan…”

Anggukkan kepala sekali lagi jika anda pernah atau sedang mengalami dan merasakannya…

Well, analogi panjang berikut ini didedikasikan untuk membedah makna mukjizat, terutama bagi yang saat ini sedang berharap akan terjadinya mukjizat…

Here we go…

Alkisah ada sebuah suami istri yang sudah tua yang tinggal di desa terpencil, kita sebut saja mereka Abah dan Emak. Setiap hari, mereka bekerja membuat tempe, kemudian si Abah menjualnya ke pasar. Jualan tempe merupakan satu-satunya sumber pendapatan mereka untuk bertahan hidup.

Suatu ketika Abah jatuh sakit, mau tak mau Emak harus mengambil alih tugas menjual tempe… Saat tengah bersiap-siap untuk pergi ke pasar menjual tempenya, tiba-tiba Emak sadar bahwa tempe buatannya hari itu masih belum matang, masih setengah jadi! Tentu saja tidak layak jual!

Emak merasa sangat sedih karena tempe yang masih muda dan belum matang pastinya tidak akan laku. Itu artinya, untuk hari itu mereka tidak akan mendapatkan pemasukan.

Ketika Emak dalam kesedihan, tiba-tiba Abah mengingatkan Emak bahwa Tuhan mampu melakukan perkara-perkara ajaib atau mukjizat, karena tiada yang mustahil bagiNya.

Emak tersenyum lalu berdoa, “Ya Allah, aku mohon kepadaMu agar terjadi mukjizat dimana kacang kedelai ini berubah menjadi tempe. Amin.” Begitulah doa ringkas yang dipanjatkannya sepenuh hati. Emak sangat yakin Allah pasti mengabulkan doanya!

Dengan tenang, Emak pun menekan-nekan bungkusan bakal tempe dengan ujung jarinya. Emak pun membuka sedikit bungkusan itu berharap untuk menyaksikan keajaiban kacang kedelai itu menjadi tempe! Namun… Emak termenung seketika sebab kacang itu masih tetap kacang kedelai yang belum matang benar! Ia bergumam lirih, “Belum terjadi mukjizat…”

Emak tidak putus asa, Emak percaya akan imannya, maka ia pun berdoa lagi, “Ya Allah, aku tahu bahwa tiada yang mustahil bagiMu, bantulah aku supaya hari ini aku dapat menjual tempe karena inilah mata pencarian kami. Aku mohon, jadikanlah kacang kedelaiku ini menjadi tempe. Amin.”

Dengan penuh harapan, Emak pun sekali lagi membuka sedikit bungkusan itu, untuk melihat hasilnya…

Well, apakah yang terjadi? Wew… Emak menjadi heran sebab kacang-kacang kedelai itu masih tetap seperti semula!!!

Hari pun semakin siang. Emak kemudian memaksakan diri untuk tetap pergi ke pasar membawa barang jualannya itu. Emak berpikir, mungkin keajaiban Allah akan terjadi dalam perjalanannya ke pasar.

Emak menyempatkan lagi untuk berdoa, “Ya Allah, aku percaya, Engkau akan mengabulkan doaku. Sementara aku berjalan menuju ke pasar, karuniakanlah keajaiban buatku, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Amin.” Dengan penuh keyakinan, wanita tua ini pun berangkat. Di sepanjang perjalanan, dia tetap tidak lupa membaca doa di dalam hatinya.

Sesampai di pasar, cepat-cepat Emak meletakkan barang-barangnya. Emak betul-betul yakin kalau tempenya sekarang sudah berubah menjadi benar-benar matang dan siap untuk dijual. Dengan hati yang berdebar-debar, Emak pun membuka bakulnya dan menekan-nekan dengan jarinya setiap bungkusan yang ada. Perlahan-lahan, Emak membuka sedikit daun pembungkusnya dan melihat isinya…

Apa yang terjadi?

Wew… ternyata tempenya benar-benar masih tetap saja tidak berubah, masih seperti semula!!!

Emak menarik napas dalam-dalam. Harapan dikabulkannya doa perlahan menipis. Emak merasa Allah tidak adil, Allah tidak kasihan kepadanya, padahal berjualan tempe adalah satu-satunya sumber penghasilannya.

Dia pun hanya duduk saja tanpa membuka barang dagangannya itu, sebab dia yakin bahwa tiada orang yang akan membeli tempe yang baru setengah jadi.

Hari pun beranjak petang dan pasar sudah mulai sepi, para pembeli sudah mulai berkurang. Emak melihat para penjual tempe lainnya, jualan mereka sudah hampir habis. Emak tertunduk lesu seperti tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa dia pulang tanpa membawa hasil jualannya hari itu. Namun, jauh di sudut hatinya Emak masih menaruh harapan terakhir bahwa pasti Allah akan menolongnya!

Walau tahu bahwa hari itu dia tidak mendapati perubahan pada tempenya, tetapi Emak berdoa untuk terakhir kali, ia BERSERAH… “Ya Allah, berikanlah PENYELESAIAN TERBAIK SESUAI KEHENDAKMU terhadap tempe DAGANGANKUku yang belum jadi ini…”

Tiba-tiba, Emak dikejutkan oleh teguran seorang wanita. “Bu…maaf ya, saya ingin bertanya, apakah Ibu punya tempe yang belum jadi? Dari tadi, saya sudah pusing berkeliling pasar ini untuk mencarinya, tapi tidak ketemu juga…”

Emak langsung termenung, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Betapa tidak terkejut, sejak sepuluh tahunan dia menjual tempe, tidak pernah ada seorang pun pelanggan yang mencari tempe belum jadi!

Sebelum Emak menjawab sapaan wanita di depannya itu, cepat-cepat Emak berdoa di dalam hatinya, “Ya Allah, saat ini aku tidak mau tempe ini menjadi matang, biarlah kacang kedelai ini tetap seperti semula, masih setegah jadi. Amin.” Sebelum menjawab wanita itu, Emak pun membuka sedikit daun penutupnya. Ternyata memang benar, tempenya masih seperti semula! Hati Emak pun bersorak gembira, “Terima kasih, ya Yesus Allahku,” ucapnya.

Wanita itu pun memborong semua tempenya yang belum jadi itu!

Sebelum wanita itu pergi, Emak sempat bertanya mengapa dia membeli tempe yang belum jadi? Wanita itu menerangkan bahwa anaknya yang tengah bersekolah di Eropa ingin makan tempe dari desa. Nah karena tempe itu akan dikirimkan ke tempat jauh, maka kalau dikirimkan tempe yang sudah jadi, maka sesampainya di sana tentunya tempe itu sudah tidak enak lagi dimakan. Itulah sebabnya ia mencari tempe yang belum jadi. Harapannya, apabila sampai di Eropa nanti, akan menjadi tempe yang sempurna.

Ingat kejadian Gunung Merapi yang meletus? Mungkin kita anggap mukjizat adalah jika tiba-tiba gunung tersebut tidak jadi meletus! Tapi mari kita coba melihat sisi lain yang seakan-akan samar. Menurut anda apakah bantuan bertubi-tubi SUKARELA dari mana-mana untuk merapi adalah bukan mukjizat?

Begitu juga kita, kapan terakhir anda merasa berada dalam persoalan tanpa ada jalan keluar, merasa apes, sial, dan lain-lain? Mungkin saat itu atau bahkan sampai sekarang belum dapat solusi juga, namun coba flashback & SADARI serta BERSYUKURLAH bahwa ternyata sampai detik ini anda masih bisa SURVIVE kan?

Ketika kita berada pada situasi sulit dan berharap akan Mukjizat, jangan “menyetir” ALLAH seperti apa bentuk hasil akhirnya, namun berserah atas seperti apa bentuk PENYELESAIAN sesuai KEHENDAKNYA.

Bertobat, Berdoa, Berusaha, dan Berserahlah padaNya. Percayalah bahwa Segala Sesuatu akan indah pada WaktuNya ^^.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” *Ams 3:5-6*

Mencuci Kaki Ibu

Pada suatu ketika, tampak seorang pemuda yang sedang melamar pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Dia sudah berhasil lolos di tes-tes pendahuluan, dan kini tiba saatnya dia harus menghadap kepada pimpinan untuk wawancara akhir.

Setelah melihat hasil tes dan penampilan si pemuda, sang pimpinan bertanya, “Anak muda, apa cita-citamu?”

“Cita-cita saya, suatu hari nanti bisa duduk di bangku Bapak,” jawab si pemuda.

“Untuk bisa duduk di bangku ini, tentu tidak mudah. Perlu kerja keras dan waktu yang tidak sebentar. Betul kan?” Si pemuda menganggukkan kepala tanda setuju.

“Apa pekerjaan orang tuamu?” lanjut si pimpinan kepada si pemuda.

“Ayah saya telah meninggal saat saya masih kecil. Ibulah yang bekerja menghidupi kami dan menyekolahkan saya.”

“Apakah kamu tahu tanggal lahir ibumu?” kembali pimpinan itu bertanya.

“Di keluarga kami tidak ada tradisi merayakan pesta ulang tahun, sehingga saya juga tidak tahu kapan ibu saya berulang tahun.”

“Baiklah anak muda. Bapak belum memutuskan apakah kamu diterima atau tidak bekerja di sini. Tetapi ada satu permintaan bapak. Saat di rumah nanti lakukan sebuah pekerjaan kecil, yaitu cucilah kaki ibumu dan besok datanglah kemari lagi.”

Walaupun tidak mengerti maksud dan tujuan permintaan tersebut, demi permintaan yang tidak biasa dan karena sangat ingin diterima bekerja di sana, dia lakukan juga perintah itu. Saat senja tiba, si pemuda membimbing ibunya duduk dan berkata, “Ibu nampak lelah, duduklah Bu. Saya akan cuci kaki Ibu.”

Sambil menatap takjub putranya, si ibu menganggukkan kepala. “Anakku, rupanya sekarang engkau telah dewasa dan mulai mengerti.”

Si pemuda pun mengambil ember berisi air hangat. Tak lama, sepasang kaki ibundanya yang tampak rapuh, berkeriput, dan terasa kasar di telapak tangannya itu mulai direndam sambil diusap-usap dan dipijat perlahan. Demi melihat kondisi kaki ibunya yang pecah-pecah karena bekerja keras selama ini, tanpa terasa air mata pemuda itu menetes perlahan.

“Ibu, terima kasih, Bu. Ibu telah bekerja berat selama ini untuk Ananda. Berkat kaki inilah Ananda bisa menjadi seperti hari ini,” ucapnya lirih, terbata-bata menahan tangis. Mereka pun saling berpelukan dengan penuh kasih dan kelegaan.

Tiba keesokan harinya, sang pimpinan berkata, “Coba ceritakan, bagaimana perasaanmu saat kamu mencuci kaki ibumu?”

“Saat mencuci kaki ibu, saya mengerti dan menyadari akan kasih ibu yang rela berkorban demi anaknya. Melalui kaki ibu yang semakin berkeriput dan tampak rapuh, saya tahu bahwa saya harus bekerja dengan sungguh-sungguh demi membaktikan diri kepada ibu saya,” ucapnya tulus tanpa kesan mengada-ada.

Mendengar jawaban si pemuda, akhirnya si pimpinan menerima dia bekerja di perusahaan itu. Pimpinan itu yakin, seseorang yang tahu bersyukur dan tahu membalas budi kebaikan orang tuanya, adalah orang yang mempunyai cinta kasih. Dan orang yang seperti itu pasti akan bekerja dengan serius, sepenuh hati, dan bertanggung jawab.

Pepatah “surga ada di telapak kaki ibu” sungguh mengandung makna yang sangat dalam, sebab kasih ibu adalah kasih yang tiada tara dan tak terbalas dengan apapun.

Jika kita mendapatkan restu, apa lagi didukung oleh doa ibu, tentu semua itu merupakan dukungan yang mengandung kekuatan luar biasa, yang memungkinkan apa pun yang kita lakukan akan mendatangkan hasil yang maksimal dan penuh makna.

Untuk itu, selagi orangtua masih hidup, sudah selayaknya kita memberikan perhatian, layanan, dan mencintai mereka dengan setulus hati. Bila mungkin ada kesalahan yang dilakukan oleh orangtua sehingga membuat luka di hati, tidak perlu disimpan di hati. Apalagi dengan membalas dan menyakiti hati mereka.

Ingatlah, pengorbanan orangtua, apalagi seorang ibu, tak akan bisa dinilai atau dihargai dengan materi apa pun bahkan sampai akhir hayat mereka. Dengan menyelami arti pengorbanan seorang ibu, kita akan dapat menemukan kasih sayang sejati.

I Love You More Than Last Year, Honey

Mawar merah adalah kecintaannya, nama orangnya sendiri pun “Mawar”. Dan setiap tahun suaminya selalu mengirimkan mawar-mawar itu, diikat dengan pita indah.

Pada tahun suaminya meninggal, dia mendapat kiriman mawar lagi. Kartunya tertulis “Be My Valentine like all the years before”.

Sebelumnya, setiap tahun suaminya mengirimkan mawar, dan kartunya selalu tertulis, “Aku mencintaimu lebih lagi tahun ini… Kasihku selalu bertumbuh untukmu seturut waktu yang berlalu…” Dia tahu ini adalah terakhir kali suaminya mengirimkan mawar-mawar itu. Dia tahu suaminya memesan semua itu dengan bayar di muka sebelum hari pengiriman. Suaminya tidak tahu kalau dia akan meninggal. Dia selalu suka melakukan segala sesuatu sebelum waktunya. Sehingga ketika suaminya sangat sibuk sekalipun, segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik.

Lalu Mawar memotong batang mawar-mawar itu dan menempatkan semuanya dalam satu vas bunga yang sangat indah. Dan meletakkan vas cantik itu di sebelah potret suaminya tercinta. Kemudian dia akan betah duduk berjam-jam di kursi kesayangan suaminya sambil memandangi potret suaminya dan bunga-bunga mawar itu.

Setahun telah lewat, dan itu adalah saat yang sangat sulit baginya. Dengan kesendiriannya dijalaninya semua. Sampai hari ini Valentine ini. Beberapa saat kemudian, bel pintu rumahnya berbunyi. Seperti hari-hari Valentine sebelumnya, ketika dibukanya, dilihatnya buket mawar di depan pintunya. Dibawanya masuk, dan tiba-tiba seakan terkejut melihatnya.

Kemudian dia langsung menelpon toko bunga itu. Ditanyakannya kenapa ada seseorang yang begitu kejam melakukan semua itu padanya, membuat dia teringat kepada suaminya, dan itu sangat menyakitkan.

Lalu pemilik toko itu menjawabnya, “Saya tahu kalau suami Nyonya telah meninggal lebih dari setahun yang lalu. Saya tahu anda akan menelpon dan ingin tahu mengapa semua ini terjadi. Begini Nyonya, bunga yang anda terima hari ini sudah dibayar di muka oleh suami anda. Suami anda selalu merencanakannya dulu dan rencana itu tidak akan berubah. Ada standing order di file saya, dan dia telah membayar semua, maka anda akan menerima bunga-bunga itu setiap tahun. Ada lagi yang harus anda ketahui. Dia menulis surat special untuk anda, ditulisnya bertahun-tahun yang lalu, dimana harus saya kirimkan kepada anda satu tahun kemudian jika dia tidak muncul lagi di sini memesan bunga mawar untuk anda. Lalu, tahun kemarin, saya tidak temukan dia di sini, maka surat itu harus saya kirimkan setahun lagi, yaitu tahun ini. Surat yang ada bersama dengan bunga itu sekarang, bersama dengan Nyonya saat ini.”

Mawar mengucapkan terima kasih dan menutup telepon. Dia langsung menuju ke buket bunga mawar itu. Sedangkan air matanya terus menetes. Dengan tangan gemetar diambilnya surat itu. Di dalam surat itu dilihatnya tulisan tangan suaminya. “Dear kekasihku, Aku tahu ini sudah setahun semenjak aku pergi. Aku harap tidak sulit bagimu untuk menghadapi semua ini. Kau tahu, semua cinta yang pernah kita jalani membuat segalanya indah bagiku. Kau adalah istri yang sempurna bagiku. Kau juga adalah seorang teman dan kekasihku yang memberikan semua kebutuhanku. Aku tahu ini baru setahun, tapi tolong jangan bersedih. Aku ingin kau selalu bahagia, walaupun saat kau hapus air matamu. Itulah mengapa mawar-mawar itu akan selalu dikirimkan kepadamu. Ketika kau terima mawar itu, ingatlah semua kebahagiaan kita, dan betapa kita begitu diberkati. Aku selalu mengasihimu dan Aku tahu Aku akan selalu mengasihimu. Tapi istriku, kau harus tetap berjalan, kau punya kehidupan. Cobalah untuk mencari kebahagiaan untuk dirimu. Aku tahu tidak akan mudah, tapi pasti ada jalan. Bunga mawar itu akan selalu datang setiap tahun, dan hanya akan berhenti ketika pintu rumahmu tidak ada yang menjawab dan pengantar bunga berhenti mengetuk pintu rumahmu. Tapi kemudian dia akan datang lima kali hari itu, takut kalau engkau sedang pergi. Tapi jika pada kedatangannya yang terakhir dia tetap tidak menemukanmu, dia akan meletakkan bunga itu ke tempat yang kusuruh, meletakkan bunga-bunga mawar itu di tempat dimana kita berdua bersama lagi untuk selamanya… I LOVE YOU MORE THAN LAST YEAR, HONEY…”

Rajawali Yang Cerdik

Di suatu hari yang panas seekor rajawali sangat haus dan ingin minum. Sungai amat jauh dan sangat melelahkan jika terbang ke sana untuk minum. Ia tidak melihat kolam air di mana pun. Ia terbang berputar-putar. Akhirnya ia melihat sebuah buyung di luar rumah. Rajawali terbang turun ke buyung itu. Di sana ada sedikit air di dasar buyung. Rajawali memasukkan kepalanya ke dalam buyung, tetapi ia tidak dapat menggapai air itu. Ia memanjat ke atas buyung. Ia memasukkan lagi kepalanya ke dalam buyung, tetapi paruhnya tidak bisa mencapai air itu. Kemudian ia mencari akal.

Rajawali itu terbang tinggi dan kemudian turun menuju ke buyung untuk memecahkannya dengan paruhnya tetapi buyung itu amat kuat. Ia tidak dapat memecahkannya. Rajawali itu keluar terbang ke arah buyung, kemudian ia menabrakkan sayapnya. Ia mencoba memecahkannya agar airnya keluar membasahi lantai. Tetapi buyung itu amat kuat. Rajawali itu amat letih bila harus terbang lebih jauh lagi. Ia berpikir ia akan mati kehausan.

Rajawali itu duduk termenung di sarangnya. Ia berpikir terus-menerus. Ia tidak mau mati karena kehausan. Ia melihat banyak batu-batu kecil di tanah. Ia mendapatkan ide. Ia mengambil batu itu dan memasukkannya ke dalam buyung. Ia memasukkan dan memasukkan terus. Air itu naik lebih tinggi setiap kali batu jatuh ke dalam buyung. Buyung itu hampir penuh dengan batu. Air telah naik sampai ke permukaan. Rajawali yang pintar itu memasukkan paruhnya dan ia mendapatkan air.

Pepatah mengatakan bahwa “Jika ada kemauan pasti ada jalan”. Rajawali itu telah membuktikan.

Ketidakmampuan Mengendalikan Nafsu Keinginan

Ada seorang wanita muda yang tinggal di dalam keluarga bahagia dan sangat di sayang oleh ibunya. Kemudian wanita ini jatuh cinta dan menikah, dan ibunya pun menyiapkan mas kawin.

Suaminya adalah seorang pegawai pemerintah yang tingkat kesejahteraannya tidak sebaik keluarga istrinya. Ia tinggal di sebuah apartemen sewaan. Setelah mereka menikah, istrinya ini masih berharap untuk memiliki kemewahan yang biasa ia miliki, tetapi ia tidak dapat mendapatkannya karena kondisi ekonomi mereka yang sangat sulit. Ia sering pulang ke rumah ibunya untuk meminta apa yang diinginkannya dan ibunya selalu memenuhi keinginannya.

Ia selalu mengeluh pada suaminya bahwa ia malu akan kehidupan mereka. Ia berharap agar suaminya dapat secepatnya membelikan sebuah rumah yang bagus. Tetapi, dengan pemasukan suaminya, ia tidak mungkin mampu untuk membeli rumah.

Suaminya adalah orang yang taat pada hukum dan sederhana. Setiap bulan ia memberikan seluruh gajinya pada sang istri. Walau mereka hidup hemat, tetap saja uang simpanannya tidak cukup untuk membeli rumah. Hal ini membuat kesal istrinya bahwa orang lain memiliki rumah sedangkan ia harus menyewa. Meskipun uangnya tidak cukup, ia senantiasa pergi melihat perumahan yang akan dijual.

Selama bertahun-tahun, wanita ini pergi menemui ibunya dengan rencana akan membeli sebuah apartemen. “Saya melihat sebuah apartemen yang di jual sekitar NT$2 juta (US$ 62.500) dan saya berencana untuk membelinya.”

Ibunya bertanya, “Berapa banyak uang yang kau miliki?”

“Sekitar 200 ribu,” jawab wanita itu.

Mendengar jumlah ini, dengan lembut suaminya mencoba untuk berbicara pada istrinya agar melupakan ide tentang memiliki apartemen sendiri. Akan tetapi, lebih dari 10 tahun ia menyibukkan diri berkeliling melihat perumahan dengan harapan dapat membeli satu unit rumah. Setiap kali sebuah bangunan apartemen selesai dibangun, ia pergi melihatnya. Ia selalu ingin membeli 1 unit rumah, tetapi harganya selalu berada di luar jangkauannya.

Pada 12 tahun usia perkawinannya, ia melihat satu unit apartemen di Taipei seharga NT$3,8 juta. Apartemen ini sungguh menarik dan ia sangat menginginkannya sehingga membuatnya hampir menjadi gila. Setiap hari ia pulang menemui ibunya dan selalu merajuk agar ibunya meminjamkan uang sebesar NT$2 juta.

Ibunya berkata, “Tidak masalah saya meminjamkan uang kepadamu, tetapi kemana kamu akan mendapatkan sisanya?”

“Saya dapat meminjamnya dari orang lain,” Jawab wanita itu.

Ibunya bertanya dengan sungguh-sungguh, “Apakah kamu mempunyai cukup uang untuk membayarnya setiap bulan?”

Kenyataannya, ibunya tahu bahwa gaji suaminya tidak akan cukup untuk membayar pinjaman. Maka ibunya berkata, “Tenanglah dulu, dan jangan begitu terobsesi dengan ide ini.”

Akan tetapi, ia tidak dapat mengendalikan keinginannya. Ia bahkan menyalahkan ibunya karena tidak mau membantunya dan memutuskan hubungan dengan ibunya.
Setelah ia memutuskan hubungan keluarga dengan ibunya, ia tetap tidak dapat mengendalikan nafsu keinginannya.

Setiap hari ia mengomeli suaminya yang tidak berguna dan tidak dapat memberikan apa yang ia inginkan. Karena senantiasa di dorong oleh keluhan-keluhan istrinya dan saat akal sehatnya sudah habis, suaminya mulai menerima sogokan. Tetapi, sebelum ia mendapatkannya, ia tertangkap dan dijatuhi hukuman penjara.

Setelah menerima ganjalan semahal itu, apakah keinginan wanita itu berakhir? Tidak, justru bertambah buruk. Ia bahkan menyuruh putranya mencuri barang di toko. Maka, setiap kali putranya melihat barang yang diinginkannya, ia akan mencurinya. Suatu hari putra wanita tersebut tertangkap basah karena mencuri beberapa buah pena di sebuah toko buku dan dikirim ke rumah tahanan anak remaja.

Akhirnya, wanita ini hanya tinggal bersama anak perempuannya yang berusia 13 tahun. Wanita ini sedikit menggila, sering marah dan menyiksa putrinya. Suatu hari sepulang sekolah, putrinya berjalan sambil menangis di jalanan karena mengalami depresi. Putrinya tertabrak mobil dan meninggal seketika. Pada akhirnya, wanita ini tidak memiliki apa-apa lagi di dunia dan menjadi gila.

Tragedi ini melibatkan seluruh anggota keluarga. Keinginan wanita ini yang tidak rasional menyebabkan kematian putrinya sendiri. Untuk memuaskan nafsu keinginannya, suaminya melakukan hal yang sangat bodoh dan menyebabkan di penjara bertahun-tahun. Ia membiarkan putranya mencuri dan berakhir di rumah tahanan. Pada akhirnya, ia sendiri menjadi gila. Semua ini di sebabkan oleh “KETIDAKMAMPUANNYA MENGENDALIKAN NAFSU KEINGINAN”.

<CERITA INI DI ANGKAT DARI KISAH NYATA DI TAIWAN>

Kita selalu diajarkan untuk memiki pandangan benar tentang materi dan nafsu duniawi. Jika kita dapat mempelajari kebenaran dan masuk akal, kita akan memiliki konsep pandangan yang wajar tentang mengambil dan memberi barang. Kita dapat mengambil barang yang memang merupakan hak kita, dan memberi dengan murah hati atas apa yang kita miliki secara berlimpah kepada orang lain. Di samping itu kita tidak boleh menginginkan barang yang tidak patut kita miliki.

Jika kita dapat mengendalikan pikiran kita, kita tidak akan melakukan KESALAHAN. Banyak orang melakukan hal yang mereka sesali SEUMUR HIDUP karena mereka tidak dapat mengendalikan nafsu keinginannya. Sebuah niat yang tidak benar akan mengakibatkan kesalahan yang berkelanjutan, jadi setiap saat kita harus berhati-hati dalam menyikapi segala KEINGINAN kita dengan BIJAKSANA.

Membahagiakan Orang Lain

Ada seorang pemuda terkena penyakit yang mengharuskan usus kecilnya dipotong sepanjang satu meter. Selama berpuasa setelah operasi, saat masih terbaring di rumah sakit, istrinya menghubungi saya dan menceritakan keadaan suaminya. Lewat istrinya saya menganjurkan agar pemuda itu mengembangkan pikiran yang penuh cinta kasih.

Setelah keluar dari rumah sakit, pemuda itu datang menemui saya. Dia mengatakan bahwa saat terbaring di rumah sakit di saat merasakan kesakitan yang besar dan merasa sedih karena ternyata penyakitnya tidak bisa disembuhkan, sulit bagi dirinya untuk mengembangkan pikiran penuh cinta kasih.

Dia berkata, “Saya sendiri sangat membutuhkan pertolongan. Keadaan saya sangat buruk. Bagaimana mungkin saya bisa mengembangkan pikiran cinta kasih? Bukankah saya sendiri yang sebenarnya harus dikasihani?”

Saya berkata, “Sejak Anda mulai memikirkan diri sendiri, sejak Anda mulai menuntut, maka pada saat itulah Anda mulai merasa menderita. Sebaliknya, sejak Anda mulai memikirkan orang lain, mengharapkan orang lain bahagia, justru pada saat itulah Anda mulai merasa bahagia. Dengan mengembangkan pikiran penuh cinta kasih, saya berharap semoga penderitaan yang Anda rasakan bisa berkurang.”

Pemuda-pemudi ketika masih berpacaran, mereka sangat memperhatikan pasangannya. Mereka berusaha saling membahagiakan pasangannya. Oleh karena ingin membahagiakan pasangannya, perasaan mereka dipenuhi kebahagiaan. Tetapi setelah menikah, biasanya mereka mulai banyak berharap kepada pasangannya. Mereka menuntut pasangannya untuk ini dan itu, menuntut pasangannya untuk bersikap begini dan begitu. Ketika mereka mulai memikirkan diri sendiri dan mulai banyak menuntut, pada saat itulah penderitaan mulai datang.

“Penderitaan Datang Saat Kita Menuntut Orang Lain Untuk Membahagiakan Kita. Sebaliknya, Kebahagiaan Datang Justru Saat Kita Ingin Membahagiakan Orang Lain.”

Marah

Suatu hari seorang bijak bertanya kepada seorang pemuda, “Nak, kamu tahu, mengapa ketika seorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara keras atau berteriak?”

Pemuda itu menjawab, “Karena saat seperti itu ia pasti telah kehilangan kesabaran.”

“Tapi kenapa ia harus berteriak?” jawab si org bijak, “Padahal lawan bicaranya berada di sampingnya. Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?”

Pemuda itu terus memberikan jawaban dengan sejumlah alasan yang menurutnya masuk akal dan benar. Namun ternyata tak satu pun dari jawaban itu yang memberikan jawaban yang sebenarnya.

Si orang bijak lalu berkata, “Ketika dua orang sedang berada dalam situasi penuh amarah, jarak antara kedua hati mereka menjadi amat jauh walaupun secara fisik mereka sebenarnya begitu dekat. Karena itu, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi.”

Lanjut si orang bijak, “Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh hati? Mereka tak hanya tidak berteriak, bahkan suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil saja. Namun keduanya bisa mendengar dengan begitu jelas. Mengapa hal itu bisa terjadi?” tanya si orang bijak.

“Karena hati mereka begitu dekat, karena hati mereka tak berjarak, sehingga pada akhirnya tak sepatah kata pun yang perlu diucapkan dan mereka sudah saling tahu apa yang dikehendaki.”

Nasehat si orang bijak kepada si pemuda, “Nak, ketika kamu sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata-kata yang mendatangkan jarak antara kamu. Mungkin di saat seperti itu tak mengucapkan kata-kata adalah cara yang paling bijak, karena waktu yang akan membantu kamu dan menyelesaikannya.”

Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu. Jangan marah, itu hanya membawamu lebih dekat kepada tindakan kejahatan.