Archive for October, 2011

Mempertahankan Kasih

Negarawan dan pengacara terkenal Amerika, William Jennings Bryan (1860-1925) sedang dilukis potret dirinya. Sang pelukis bertanya, “Mengapa Anda membiarkan rambut Anda menutupi telinga seperti itu?”

Bryan menjawab, “Ada kisah romantis berkaitan dengan rambut saya. Ketika saya mulai berpacaran dengan Bu Bryan, ia tidak suka melihat telinga saya yang menonjol keluar. Untuk menyenangkan hatinya, saya membiarkan rambut saya tumbuh hingga menutupi telinga.”

“Kejadiannya sudah bertahun-tahun silam,” sahut pelukis itu. “Mengapa sekarang Anda tidak memotong rambut?” “Karena,” kata Bryan sambil mengedipkan matanya, “jalinan kasih kami masih terus berlangsung hingga sekarang.”

Apakah jalinan kasih kita dengan Yesus masih berlangsung hingga sekarang? Ketika pertama kali datang dengan iman kepada Kristus, kita bersukacita karena dosa kita diampuni dan kita diangkat menjadi anggota keluargaNya. Kasih Tuhan memenuhi dan terus mengaliri hati kita. Kita pun rindu untuk menyenangkanNya.

Ketika waktu berlalu, semangat cinta pertama kita yang menyala-nyala mungkin mulai mendingin. Oleh sebab itu, kita perlu merenungkan perkataan Yudas yang tertulis dalam surat singkatnya, “Peliharalah dirimu demikian di dalam kasih Allah” (ayat 21). Yesus menggunakan ungkapan yang sama ketika Dia berkata, “Tinggallah di dalam kasihKu” (Yohanes 15:9,10). Kita memelihara kasih tersebut apabila kita memusatkan diri untuk menyenangkanNya, bukan menyenangkan diri sendiri. — Peliharalah senantiasa jalinan kasih itu.

YESUS KRISTUS mengasihi Anda…

Ubi dan Telur

Apa yang terjadi jika sepotong ubi dan sebutir telur dimasukkan ke dalam air mendidih? Apakah kedua benda itu keluar dari panci panas dalam keadaan yang sama dengan keadaan sebelum direbus? Air mendidih mengubah ubi dan telur itu. Namun perubahan yang terjadi pada kedua benda itu sangat bertolak belakang. Setelah direbus, telur menjadi keras. Sebaliknya, ubi menjadi lembut. Kedua benda itu berada dalam panci yang sama dan air mendidih yang sama, namun reaksi mereka berbeda. Telur akan muncul dalam keadaan keras, sedangkan ubi akan muncul dalam keadaan lembut.

Dalam hidup ini, ada masa dimana kita harus masuk ke dalam panci yang berisi air mendidih, yaitu musibah dan penderitaan. Dalam suatu musibah, kita merasakan betapa sakit dan nyeri direbus dalam air mendidih. Musibah dan penderitaan bisa terasa sangat kejam dan menyakitkan bagaikan menusuk tulang, hati, dan sumsum. Apalagi ketika musibah demi musibah datang menimpa bagaikan tak ada habisnya. Kita seperti terhempas lemas. Kita menunduk dan menarik nafas panjang, kita bertanya lirih, “Oh, Tuhan, mengapa ini harus terjadi?”

Namun kenyataan adalah kenyataan. Musibah itu sudah atau sedang terjadi. Jadi yang lebih mendesak bukanlah persoalan mengapa musibah ini terjadi, melainkan bagaimana menghadapinya, bagaimana bisa melewati dan mengatasi musibah ini. Bagaimana bisa survive dalam dan dari musibah ini. Jika musibah dan penderitaan merupakan ibarat direbus dalam panci, soalnya adalah bagaimana kita akan keluar dari panci itu. Apakah kita akan keluar sebagai telur atau ubi?

Ada orang yang keluar dari musibah dalam keadaan yang sangat tertekan. Mukanya selalu suram. Ia menyendiri. Hidupnya menjadi pahit dan getir. Sikapnya terhadap orang lain menjadi kaku. Ia menjadi keras. Ia ibarat telur yang setelah keluar dari air mendidih menjadi keras. Sebaliknya, ada orang yang setelah keluar dari musibah justru menjadi bijak dan matang. Ia merasa damai dengan dirinya. Sikapnya hangat dan ramah. Ia tersenyum dan menyapa. Ia menjadi lembut. Ia ibarat ubi yang setelah digodok justru menjadi lembut. Dampak itu bisa begitu berbeda, sebab pandangan dan ketahanan orang terhadap penderitaan dan musibah berbeda-beda.

Pengarang surat Yakobus menulis: “Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.” (Yakobus 5:10-11)

Paulus mengkalimatkan kaitan ini secara lebih terinci: “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” (Roma 5:3-4)

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Penderitaan dan musibah tidak dapat dihindarkan. Itu adalah bagian dari hidup. Hidup adalah ibarat roda, sebentar di atas, sebentar di bawah. Hidup ini ada enaknya dan ada tidak enaknya, yaitu masuk dalam panci dan direbus dalam air mendidih.

Soalnya, apakah kita akan keluar dari panci panas itu sebagai telur rebus yang keras ataukah sebagai ubi yang lembut? Apakah kita akan keluar dari sebuah musibah sebagai orang yang kaku dan keras atau sebaliknya, sebagai orang yang berhati lembut? Agaknya, dalam suatu musibah, kita boleh belajar berbisik: “Tuhan, biarlah saya menjadi seperti ubi… seperti sepotong ubi rebus yang lembut, hangat, dan manis.”

Kisah Semangkuk Nasi Putih

Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir di depan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu di restoran sudah agak sepi. Dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk ke dalam restoran tersebut.

“Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih.” Dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan.

Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apa pun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya.

Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan membayarnya, ia berkata dengan pelan, “Dapatkah menyiram sedikit kuah sayur di atas nasi saya?”

Istri pemilik rumah berkata sambil tersenyum, “Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar!”

Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir, “Kuah sayur gratis.” Lalu memesan semangkuk lagi nasi putih.

“Semangkuk tidak cukup anak muda. Kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya.” Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini.

“Bukan, saya akan membawa pulang, besok akan membawa ke sekolah sebagai makan siang saya!”

Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin di luar kota, demi menuntut ilmu datang ke kota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti.

Berpikir sampai di situ, pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur dan disembunyikan di bawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut yang sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.

Melihat perbuatannya, istrinya mengetahui suaminya sedang membantu pemuda ini, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan di bawah nasi?

Suaminya kemudian membisik kepadanya, “Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk di nasinya, dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung. Lain kali dia tidak akan datang lagi. Jika dia ke tempat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah.”

“Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya.”

“Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku?” Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain.

“Terima kasih, saya sudah selesai makan.” Pemuda ini pamit kepada mereka. Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka.

“Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat!” kata pemilik rumah makan sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi.

Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah ke rumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari.

Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi.

* * * * *

Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur. Tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dan mengingat anak mereka yang disekolahkan di luar negeri yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.

Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek, kelihatannya seperti direktur dari kantor bonafid. “Apa kabar? Saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan, saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami. Perusahaan kami telah menyediakan semuanya, kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian ke sana, keuntungannya akan dibagi dua dengan perusahaan.”

“Siapakah direktur di perusahaan kamu? Mengapa begitu baik terhadap kami? Saya tidak ingat mengenal seorang yang begitu mulia.” Sepasang suami istri ini berkata dengan terheran.

“Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami. Direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu. Yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya.”

Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul. Setelah bersusah payah selama 20 tahun, akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses untuk kerajaan bisnisnya. Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini. Jika mereka tidak membantunya, dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang.

Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya. Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka, “Bersemangat ya! Di kemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian. Sampai bertemu besok!”

Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan.

Hukum Tabur Tuai

Seorang petani jagung yang sukses selalu berhasil menjadi juara pada kompetisi hasil pertanian di wilayahnya. Ketika ditanya tentang rahasia di balik keberhasilannya, ternyata si petani selalu membagikan benih unggul jagungnya kepada para tetangganya, sehingga mereka turut menanam benih yang baik tersebut. Ketika musim penyerbukan berlangsung, serangga membawa serbuk sari yang unggul dari ladang para tetangga ke ladang jagungnya. Hasilnya, panen jagung si petani tetap terjaga keunggulannya.

Karakter seperti inilah yang harus dimiliki oleh kita. Milikilah karakter yang baik, bagikanlah kepada orang lain, taburkanlah dan tanamlah benih-benih yang unggul. Pelihara dan kembangkan benih-benih karakter yang berkualitas. Itu akan menghasilkan buah yang lebat pada waktunya dan terus menerus berlipat ganda yang pada akhirnya akan membawa manfaat bagi kita dan sesama.

“Karakter bertumbuh melalui proses waktu dan ujian yang akan menghasilkan buah-buah unggul yang berguna sebagai modal utama kehidupan kita.”

Mengapa

• Mengapa saya berkata “Saya tidak bisa” jika Alkitab mengatakan bahwa saya bisa melakukan segala sesuatu di dalam Dia yang memberi kekuatan kepada saya? (Fil 4: 13)

• Mengapa saya merasa kurang jika saya tahu bahwa Allah akan memenuhi segala keperluan saya menurut kekayaan dan kemuliaanNya dalam Kristus Yesus? (Fil 4: 19)

• Mengapa saya harus merasa takut jika Alkitab berkata bahwa Tuhan tidak memberi saya roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, ketertiban? (2Tim 1: 7)

• Mengapa saya harus merasa kurang iman jika saya tahu bahwa Allah telah mengaruniakan kepada saya ukuran iman tertentu? (Rom 12: 3)

• Mengapa saya menjadi lemah jika Alkitab berkata bahwa Allah adalah terang dan keselamatan saya dan bahwa saya akan tetap kuat dan akan bertindak? (Maz 27: 1, Dan 11: 32)

• Mengapa saya harus membiarkan iblis menang atas hidup saya jika Roh yang ada di dalam saya lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia? (1Yoh 4: 4)

• Mengapa saya harus pasrah kalah jika Alkitab berkata bahwa Allah dalam Kristus selalu membawa kita di jalan kemenanganNya? (2Kor 2: 14)

• Mengapa saya harus kekurangan hikmat jika Kristus sendiri telah menjadi hikmat bagi saya dan Allah akan memberi hikmat jika saya minta padaNya? (1Kor 1: 30; Yak 1: 5)

• Mengapa saya harus depresi jika saya dapat mengingat bahwa saya dapat berharap pada Allah yang kasih setiaNya tidak habis-habisnya setiap pagi? (Rat 3: 21-23)

• Mengapa saya harus kuatir, resah, dan rewel jika saya dapat menyerahkan segala kekuatiran saya pada Tuhan yang memelihara saya? (1Pet 5: 7)

• Mengapa saya harus selalu hidup dalam beban jika saya tahu bahwa dimana ada Roh Allah, ada kemerdekaan, dan Kristus telah memerdekakan kita? (2Kor 3: 17; Gal 5: 1)

• Mengapa saya harus merasa terhukum jika Alkitab berkata bahwa saya tidak ada lagi di bawah penghukuman sebab saya di dalam Kristus? (Rom 8: 1)

• Mengapa saya harus merasa sendirian jika Yesus berkata Ia akan selalu menyertai saya, tidak akan membiarkan dan tak akan meninggalkan saya? (Mat 28: 20; Ibr 13: 5)

• Mengapa saya harus merasa terkutuk atau merasa saya menjadi korban nasib sial jika Alkitab berkata bahwa Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum taurat sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu? (Gal 3: 13-14)

• Mengapa saya harus merasa tidak puas dalam hidup ini jika saya, seperti Paulus, bisa belajar untuk menjadi puas dalam segala keadaan? (Fil 4: 11)

• Mengapa saya harus merasa tidak layak jika Kristus telah dibuat menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah? (2Kor 5: 21)

• Mengapa saya merasa takut disiksa orang jika saya tahu bahwa jika Allah di pihak saya tidak ada yang akan melawan saya? (Rom 8: 31)

• Mengapa saya harus bingung jika Allah adalah Raja Damai dan Ia memberi saya pengetahuan melalui RohNya yang diam di dalam kita? (1Kor 14: 33; 2: 12)

• Mengapa saya harus terus-menerus gagal dan jatuh jika Alkitab berkata bahwa sebagai anak Allah saya lebih daripada orang-orang yang menang dalam segala hal, oleh Dia yang telah mengasihi saya? (Rom 8: 37)

• Mengapa saya harus membiarkan tekanan hidup mengganggu saya jika saya dapat punya keberanian karena tahu Tuhan Yesus telah menang atas dunia dan penderitaan? (Yoh 16: 33)

“Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” (Maz 46: 11a)